- Manik-manik
- Umpak batu
- Arca tablet tanah liat
- Kapak arca Awaloketiswara
- Fregmen acra perunggu
- Kaki arca
- Dan lukisan abad 17 yang mengisahkan perang antara
Kesultanan Palembang Darussalam melawan Tentara Kolonial Belanda di depan
Keraton Kuto Gawang (sekarang Pabrik Pupuk Sriwijaya)
Rabu, 19 Desember 2012
Museum Balaputradewa terletak di Jl. Srijaya Negara I No.
288, Palembang. Walaupun museum ini tidak terletak di jalan besar (kira-kira
400 meter dari jalan protokol), namun petunjuk jalan menuju museum ini cukup
jelas. Museum ini menempati bangunan dengan arsitektur tradisional Palembang,
dan berada dalam kompleks seluas 23565 meter persegi. Museum ini didirikan pada
tahun 1978 dan berada di bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional. Nama
Balaputradewa diambil dari nama raja paling terkenal di kerajaan Sriwijaya.
Koleksi Museum Balaputradewa terdiri dari prasasti
peninggalan kerajaan Sriwijaya, benda-benda peninggalan kerajaan Palembang,
sejarah perang kemerdekaan di Sumatera Selatan, dan barang-barang kebudayaan
Sumatera Selatan. Dari koleksi yang ditampilkan di museum ini, kita bisa
melihat bahwa Dari koleksi museum, kita bisa melihat bahwa kerajaan Sriwijaya
pernah menjadi pusat agama Budha yang terkemuka di dunia pada masanya. Begitu
banyak arca batu yang menggambarkan Buddha yang ditemukan di sekitar provinsi
Sumatera Selatan, yang kemudian menjadi bagian dari koleksi museum. Di bagian
belakang museum terdapat replika rumah limas, namun kami tidak bisa masuk ke
dalamnya. Di bagian samping museum terdapat koleksi patung-patung yang
ditemukan di berbagai situs yang diduga merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Salah satu patung yang menarik perhatian adalah patung orang naik gajah, yang
merupakan peninggalan era megalitikum di Palembang. Masyarakat menganggap patung
ini merupakan bagian dari legenda si Pahit Lidah, di mana siapa pun yang
dikutuk olehnya akan berubah menjadi batu.
Walaupun
merupakan Museum Provinsi, namun Museum Balaputradewa jarang mendapat kunjungan
dari umum, barangkali karena letaknya yang tidak di tepi jalan protokol. Bahkan
ketika kami menginjakkan kaki di museum ini, hanya kami tamu yang berkunjung ke
sana. Akan tetapi koleksi museum ini merupakan warisan berharga yang dapat
memberikan gambaran kepada kita mengenai sejarah wilayah Sumatera Selatan,
terutama tentang kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Palembang.
Kisah dari Tiap Ruang
Pameran.
Ruang pamer 1 secara keseluruhan menceritakan tentang masa
kehidupan di jaman pra sejarah (kehidupan manusia purba). Di ruang pamer
1 telihat berbagai lukisan dan berbagai situs peninggalan hewan-hewan purba
yang disebut Vitron. Kemudian ada pula yang menceritakan manusia purba
pertama di pulau Jawa yaitu Pithecanthropus erectus yaitu
manusia purba yang berjalan tegak ditemukan oleh Eugene Dubois. Terdapat
pula beraneka ragam binatang yang terdapat di daerah Sumsel yang telah
diawetkan dengan cara membuang isi dalam tubuhnya kemudian diisi dengan kapas
seperti: buaya, beruang; macan; beruk; semuni; biawak; kuskus; tringgiling dan
masih banyak lagi. Terdapat pula kerangka masuia purba yang ditemukan di
gua harimau (OKU). Ada pula miniature gua putrid yang merupakan situs
tempat ditemukannya kerangka manusia pra sejarah. Selain gua putrid
ternyata gua harimau adalah situs tempat ditemukannya masuia purba dengan
jumlah yang terbanyak dan terlengkap se Indonesia bahkan Asia Tenggara, di Gua
Harimau pula ditemukan luksian yang diperkirakan dari masa pra sejarah (purba)
dimana dengan ditemukannya lukisan gua jaman pra sejarah di Gua Harimau
menjadikan tempat tesebut sebagai gua kedua atau yang pertama di Sumatera
tempat ditemukannya lukisan gua dari jaman purba setelah dua di daerah
Sulawesi.
Selain itu di ruang pamer 1 juga dipamerkan batu-batu
raksasa dari jaman Megalitikum, batu-batu megalit tersebut kebanyakan ditemukan
di daerah daataran tinggi Basemah (Pasemah) yaitu Bengkulu, Muaraenim, Lahat
dan Pagaralam. Batu-batu megalitikum tersebut membuktikan bahwa dahulu
teknologi masa lalu/peradaban nenek moyang kita sudah sangat maju dan berkembang
tidak kalah dengan bangsa lain sehingga kita sebagai generasi penerusnya harus
bangga dengan apa yang telah nenek moyang kita tinggalkan untuk kita maka dari
itu kita harus senantiasa merawat dan menghargainya
Di sudut lain dari ruang pamer 2
terdapat berbagai arca peninggalan dari jaman Agama Hindu yang ditemukan di
Bumi Ayu seperti arca Awalokiteswara, lalu terdapat sebuah wadah guci yang
mengisahkan bahwa manusia terdiri dari 4 unsur yaitu api, air, udara dan tanah
dimana pada masa lalu tubuh manusia yang sudah meninggal dibakar dan abunya
dimasukan ke dalam guci tersebut yang diberi nama Bua Bua. Di sisi lain
terdapat lukisan suasana Palembang pada masa Kerajaan Sriwijaya saat berjaya di
abad ke 7 Masehi sampai pertengahan abad 14 Masehi. Di saat masa kehancuran
Sriwijaya, kota Palembang menjadi tempat atau kota tak bertuan maka datanglah 4
orang perompak dari Cina yang dipimpin oleh Lio Tauming namun saat itu walaupun
dengan kekuatan seadanya tetap dapat digempur oleh Pangeran Ario Damar untuk
mempertahankan kota Palembang dan akhirnya berhasil. Ario Damar adalah
seorang pangeran yang berasal dari Majahpahit. Pangeran Ario Damar
terkenal dengan nama Raden Patah. Raden Patah ketika mengetahui ayahnya
menjadi seorang raja di Majahpahit membuat ia berniat kembali ke Majahpahit
untuk memberitahukan kepada ayahnya tentang keadaan di Sriwijaya namun menjadi
sia-sia karena ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu kemudian Raden
Patah bertemu dengan Wali Songo. Pada masa pendudukan Belanda di Palembang,
daerah yang dahulu dipertahankan oleh Raden Patah dari serangan perompak Cina
dibumi hanguskan oleh Belanda, daerah tersebut dahulu di masa Kesultanan
Palembang Darussalam dikenal dengan nama Kuto Gawang dan sekarang menjadi
Pabrik Pupuk Sriwijaya. Adapun peninggalan masa Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang Darussalam di Palembang adalah:
Kemudian
di bagian paling belakang dari Museum Balaputradewa kita dapat singgah ke Rumah
Limas. Rumah Limas di Museum Balaputradewa adalah rumah yang dahulu
dimiliki oleh orang arab bernama Sarip Abdurahman Al Habsi (Arif) yang diangkat
oleh Belanda menjadi seorang Kapitan. Rumah Limas tersebut dibangun pada
tahun 1836 Masehi lalu kemudian dijual kepada Pangeran Betung. Rumah
Limas tersebut masih sangat lengkap dengan berbagai macam perabotan yang khas
Palembang seperti kursi, lemari, lampu-lampu gantung, dan lainnya. Rumah
Limas tersebut terdiri dari 4 buah lantai atau biasa disebut berkilat.
Rumah Limas tersebut sudah 3 kali berpindah. Langit-langit Rumah Limas
dihiasi dengan lampu-lampu stolop dengan menggunakan lilin dan air sehingga
terlihat efek pelangi. Terdapat tanduk rusa sebagai gantungan pakaian,
lemari gerobok leket, pintu yang tidak menggunakan engsel dan umumnya Rumah
Limas menghadap kea rah Sungai.
Selain Rumah
Limas terdapat pula Rumah Bergajah yaitu tempat orang-orang terhormat.
Lalu terdapat Rumah Hulu/Rumah Anti Gempa yaitu rumah yang tiangnya tidak
ditanam namun hanya menggunakan batu yang dijadikan sebagai penyanggah dan
lantainya menggunakan bambu. Rumah ini memiliki bobot yang ringan,
dinding yang bisa dibuka dan tidak memiliki jendela. Rumah ini sendiri
ditemukan di daerah Asam Kelat. Terdapat pula Gedung 3 Manusia dan
Lingkungannya. Pada gedung tersebut terdapat berbagai jenis alat
transportasi seperti Liu-liu, gerobak, rakit dan perahu serta ada Jali yaitu
kelombu yang berbentu burung-burungan dimana biasanya joli-joli ini diberikan
untuk pengantin wanita sebagai lamaran juga ditambah dengan sena/nampa dan
songket. Di sini juga terlihat keranda berwarna hijau, ada juga patung
seorang ibu tua yang sedang menganyam songket dan songket tersebut hanya boleh
dipakai oelh seorang wanita yang sudah mempunyai suami. Hasil dari
tenunan patung ibu tua itu terpajang disebelah patung tersebut diantaranya
adalah songket bunga pacar, songket naga, songket beraung dan berbagai
aksesoris pengantin khas Sumsel seperti kalung dan gelang dari Tanjung Batu,
Batik Pale, Batik Supri dan lainnya. Kemudian yang terakhir di dalam
Rumah Limas juga terdapat 7 keranda orang meninggal (tudung) berwarna hitam.